Konten [Tampil]
Made by Pinterest |
Jumhur ulama
telah sepakat akan hukum riba: haram. Baik yang banyak mapun yang sedikit, baik
yang samar maupun terang-terangan. Tidak ada satupun ulama yang memahami Q.S.
AL Baqarah ayat 275 mengatakan bahwa riba hukumnya halal. Jika hal itu sampai
terjadi, hanya ada dua kemungkinan; ulama tersebut belum membaca tafsir Q. S.
Al Baqarah 275 tersebut, lalu bagaimana ia bisa disebut sebagai ulama? Atau kemungkinan
kedua; dia bukan ulama yang pantas dirujuk fatwanya.
Namun demikian,
terdapat khilafiyah atau perbedaan pendapat ulama dalam menanggapi soal bunga
bank. Jumhur ulama salaf maupun kontemporer sepakat bahwa hukum bunga bank sama
dengan riba, maka hukumnya sama: haram. Sebagian (kecil) ada yang berpendapat
bahwa bunga bank bukan termasuk riba.
Sebagian besar
ulama menilai bahwa bunga bank sama dengan riba, karena bunga bank adalah tambahan yang terjadi
atas transaksi utang piutang. Untuk menilai lebih jauh mengenai bunga bank ini
termasuk riba atau bukan, mari kita cermati alur transaksi berikut.
Nasabah yang
menabung atau deposit meminjamkan uangnya kepada bank, dengan imbalan sekian
persen yang ditentukan oleh bank. Kemudian oleh bank, uang dari depositor
dipinjamkan kepada nasabah kredit dengan syarat imbalan sekian persen, yang
juga ditentukan oleh bank. Selisih antara imbalan yang berasal dari peminjam
(pengusaha, masyarakat pengguna dana bank) dengan imbalan yang harus diberikan oleh
bank kepada depositor (penabung) adalah keuntungan bagi bank. Sebagai Lembaga bisnis,
dengan selisih inilah operasional bank dapat berjalan (di samping keuntungan
dari sumber lain). Hal inilah yang terjadi dalam praktik perbankan.
Untuk menentukan
riba dalam pinjaman, kita perlu mengetahui bahwa riba adalah “tambahan” yang
disyaratkan dalam pengembalian pinjaman. Ada banyak hadits yang menerangkan hal
ini. Jika tidak disyaratkan? Bisa jadi bukan riba (kita perlu pelajari faktor lain).
Karena Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sebaik-baik diantara kalian adalah yang
terbaik dalam melunasi hutang.” (H.R. Bukhari no. 2392 dan Shahih Muslim Nomor
1600), disamping beberapa hadits lain yang mengisahkan tentang pengembalian
jumlah hutang melebihi jumlah pinjaman dan dibolehkan pada masa Rasulullah SAW.
Sedangkan dalam perkara pinjam meminjam dengan pihak bank, besaran bunga baik
kepada nasabah penabung/depositor maupun dari peminjam telah ditentukan oleh
bank dan disyaratkan sejak awal. Sampai disini, bunga bank memenuhi syarat
untuk disebut atau disamakan hukumnya dengan riba.
Bagaimana dengan
para ulama yang menganggap bunga bank bukan riba? Mereka menganggap bahwa bunga
bank adalah “harga” yang harus dibayar oleh bank kepada depositor (penabung) atas
uang titipan/pinjaman yang sudah mereka gunakan untuk berbisnis. Begitu juga
dengan kreditur (peminjam), mereka harus membayar “harga” uang dari bank yang
sudah mereka gunakan baik itu untuk usaha, konsumsi, atau kepentingan lain. Logis,
bukan?
Secara logika
ekonomi, “harga” sebagai sebuah konsekuensi transaksi sangat bisa diterima oleh
akal. Apalagi selalu ada inflasi yang harus menjadi pertimbangan dalam setiap
keputusan ekonomi. Namun sebagai muslim (meski faktanya tidak hanya agama islam
yang mengharamkan riba), kita harus merujuk kepada ketentuan dalam Al Qur’an
dan sunnah. Dalam islam, uang adalah alat tukar, satuan nilai, dan pengukur
harga barang, bukan komoditas. Karena
bukan komoditas, maka uang tidak dapat diperjualbelikan layaknya barang atau
jasa yang lain. Jika pun harus terjadi pertukaran uang dengan uang (seperti
tukar menukar rupiah dengan mata uang lain), maka harus dilakukan secara cash,
setara (nilainya), dan tidak boleh ada penundaan waktu. Dengan demikian, tidak
boleh ada “harga” yang harus dibayar dari transaksi pinjam meminjam uang. Berapapun
nilai pinjaman, maka peminjam hanya wajib mengembalikan sesuai jumlah tersebut saat
mengembalikan pinjaman.
Sampai di sini,
anda sepakat dengan ulama yang menilai bunga bank sama dengan riba atau
sebaliknya?
Post a Comment
Post a Comment