Konten [Tampil]
Saat ini kita
berada pada zaman milenial, dimana manusia ingin hidup serba praktis. Kertas
tidak banyak dipergunakan (paperless), termasuk uang. Belanja kebutuhan
sehari-hari maupun kebutuhan sekunder dan tersier dapat dilakukan secara onine,
tinggal pesan, bayar via transfer, barang dikirim. Kepraktisan ini berpengaruh juga
pada bentuk uang, yang berubah dari logam dan kertas menjadi kartu. Bahkan saat
ini, sudah ada uang yang tanpa kartu, hanya berbentuk akun virtual dengan akun
dan kode privasi dan hanya dapat digunakan oleh pemiliknya.
Sementara itu
sebagai muslim, setiap hal dalam hidupnya harus mempertimbangkan aspek legalitas
hukum islam. Baik dalam urusan pribadi dengan Allah, maupun urusan dengan sesama
manusia yang disebut dengan muamalah. Dalam pembahasan fiqih muamalah, terdapat
satu kaidah dasar yang harus dipahami. Yaitu bahwa: Al Ashlu Fil Mua’malati Al Ibahah Hatta Yadullu Ad Daliilu Ala Tahrimiha,
yang artinya “Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.” Maka dalam perkara muamalah, adalah lebih
mudah “membolehkan” daripada “mengharamkan”.
Kaidah dalam fiqih
muamalah berbeda dengan kaidah dasar fiqih ibadah. Dalam fiqih ibadah berlaku: الأصل
في العبادة الحظر, فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله و رسوله yang artinya: “Hukum asal dalam ibadah adalah terlarang, maka
suatu ibadah tidak disyariatkan kecuali ibadah yang disyariatkan oleh Allah dan
Rasul-Nya.” Sehingga dalam ibadah, lebih mudah mengharamkan daripada
menghalalkan, karena untuk menghalalkan butuh modal dalil yang kuat dan shahih
Dengan demikian
semua transaksi dalam kegiatan muamalah pada dasarnya adalah boleh,kecuali jika
ada dalil yang melarang. Terkait hal tersebut, bagaimana dengan hukum e-money?
Ada dua jenis E
Money yang beredar luas dan dapat dimanfaatkan seluruh lapisan masyarakat saat
ini. Yaitu uang elektronik (E Money) berbasis kartu, dan uang elektronik tanpa
kartu. Untuk uang elektronik berbasis kartu, banyak merk sudah diterbitkan oleh
bank, diantaranya: BRIZZI dari BRI, FLAZZ dari BCA, E Money dari Mandiri, Tapcash
dari BNI. Sementara itu, dari bank Syariah ada Tapcash IB Hasanah dari BNI
Syariah. Kartu ini bisa dimanfaatkan untuk pembayaran transaksi di merchant
yang menjalin kerjasama dengan bank terkait. Di Jakarta, penggunakan uang
elektronik berbasis kartu hampir menjadi kebutuhan pokok, karena hampir seluruh
moda transportasi terintegrasi dan pembayaran tiket harus dilakukan menggunakan
kartu. Sementara untuk luar Jakarta, kartu ini berfungsi sebagai alat
pembayaran di gerbang tol. Tanpa kartu dan saldo yang cukup, pengemudi tidak
diizinkan masuk tol.
Selain itu, ada
uang elektronik tanpa basis kartu. Kita mengenalnya sebagai saldo OVO, GoPay,
Paytren, dan sebagainya. Uang jenis ini dapat digunakan untuk membayar jasa
ojek online, pembelian makanan, dan yang paling menarik: terdapat banyak promo
dan diskon yang ditawarkan. Uang elektronik jenis ini diterbitkan dan dikelola
oleh perusahaan fintech.
Di Indonesia, banyak
tulisan ustadz, ulama, atau pakar hukum islam membahas tentang hukum uang
elektronik. Sebagian menyatakan haram, dengan alasan khawatir terdapatnya riba
dalam transaksi menggunakan uang elektronik. Sebagian lagi menyatakan halal. Perbedaan
pendapat ini berdasar pada perbedaan sudut pandang mengidentifikasi pola
transaksi dan akad yang digunakan.
Mereka yang
berpendapat haram pada uang elektronik, menilai bahwa transaksi menggunakan
uang elektronik menggunakan akad pinjaman, sehingga alurnya nasabah (pengguna)
meminjamkan sejumlah uang di bank, kemudian bank mengubah bentuknya menjadi saldo
elektronik, dan pengguna dapat memanfaatkan saldo tersebut. Kasusnya menjadi
rumit ketika ada merchant yang menawarkan diskon atau promo jika pembayaran dilakukan
dengan uang elektronik. Diskon atau bonus promo yang ditawarkan oleh merchant
dinilai sebagai “aliran manfaat” kepada pemberi pinjaman (disini diperankan
oleh pengguna), sedangkan aliran manfaat dalam akad pinjaman atau utang adalah
termasuk dalam riba.
Jika kita lebih
realistis, benarkah akad yang berlaku demikian? Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa untuk uang elektronik berbasis kartu, pengguna menyerahkan sejumlah uang kepada
bank (atau perusahan fintech) untuk diubah ke dalam saldo uang elektronik
setara jumlah yang diserahkan tersebut. Apakah ini dapat diartikan pengguna
meminjamkan uang kepada bank? Sementara dia langsung mendapat saldo setara uang
yang diberikannya kepada bank dan dapat dimanfaatkan sesuai keinginannya.
Untuk uang
elektronik berbasis kartu di bank Syariah (milik BNI Syariah), dari penelitian
seorang mahasiswa UIN Raniry di BNI Syariah Aceh menunjukkan dalam laporannya,
bahwa kartu ini menggunakan akad Sharf atau pertukaran uang dengan uang. Artinya,
selama dalam transaksi pertukaran tersebut harus memenuhi beberapa syarat:
هاء وهاء saling serah مثلا بمثل sejenis سواء بسواء setara يدا بيد kontan عينا بعين
sebarang كيلا بكيل setakaran وزنا بوزن sepola setimbang, agar tidak mengandung
riba. Dengan kata lain, penggunaan akad ini tidak memperbolehkan adanya diskon,
promo dan sejenisnya. Oleh karena itu, penggunaan produk kartu uang elektronik
dari bank Syariah halal namun sampai saat ini masih sangat terbatas.
Bagaimana
dengan mereka yang menghalalkan uang elektronik? Suatu masalah yang dipandang dari
sudut berbeda, akan menghasilkan perspektif yang berbeda pula. Mereka yang menghalalkan
transaksi menggunakan uang elektronik tidak menilai saldo dalam uang elektronik
tersebut dengan akad pinjaman. Penggunaan akad sharf yang sudah diterbitkan oleh
salah satu Bank Syariah di Indonesia ini pun dianggap kurang fleksibel, karena
keterbatasan akses dalam implementasinya. Akad yang lebih tepat digunakan untuk
transaksi uang elektronik baik berbasis kartu maupun akun fintech, adalah akad
bai’ manfaat.
Konsekuensi
dari akad bai’ manfaat atau jual beli manfaat ini adalah sama persis dengan
ketika kita membeli pulsa. Harga pulsa bisa jadi lebih mahal atau sama dengan
saldo yang kita peroleh. Ketika operator jaringan menawarkan sejumlah promo,
tetap dapat kita gunakan secara bebas karena secara hukum, saldo tersebut telah
kita “beli”. Mekanisme ini sama persis dan bisa diterapkan pada transaksi uang
elektronik. Baik berbasis kartu maupun tidak, saldo yang terdapat dalam kartu
atau akun kita hakikatnya adalah “milik kita”, bank penerbit atau perusahan
fintech tidak dapat menggunakan saldo tersebut tanpa izin pemilik dan harus
sesuai dengan pemakaian yang dikontrol langsung oleh pemiliknya.
Karena
sampai saat ini lebih banyak penerbit uang elektronik adalah bank konvensional
atau perusahaan fintech yang non Syariah (kecuali paytren, kabarnya sudah
memiliki sertifikat Syariah compliance),
maka kita bebas menganggap akad apa yang kita gunakan dalam transaksi uang
elektronik tersebut. Akad yang paling mudah diimplementasikan dalam hal ini
adalah akad bai’ al manfaat atau jual beli manfaat. Lagipula, mudahkah bagi kita untuk menghidari penggunaan uang elektronik saat ini? Secara pribadi, saya hanya menggunakan seperlunya, bukan untuk berburu diskon dan kode promo.
Waduh de, aku juga suka dapat gibe away gopay je. Gimana kalau begitu? Kesimpulannya, halal nggak? Efek bacane disambi yang lain
ReplyDeletebaca dulu pelan-pelan, mbak...hehe
ReplyDeleteMemang kak yang namanya masalah uang itu kita harus berhati-hati supaya tidak terjerumus pada riba. Umar bin khattab mengatakan, "tidaklah boleh berjualan di pasar, orang yang belum memahami syariat muamalah (termasuk tentang riba)."
ReplyDelete