Konten [Tampil]
Tidak sedikit
muslim yang berpikir demikian. Menganggap bank Syariah sama dengan bank
konvensional. Hal ini secara tidak langsung juga menganggap adanya riba dalam transaksi
keuangan di bank Syariah. Benarkah demikian?
Sejauh ini,
fatwa DSN MUI disusun oleh para ulama Indonesia yang kredibel, paham ilmu
fiqih, dan tentu saja tidak sembarangan membuat fatwa. Haramnya bunga bank,
halalnya praktek dan transaksi keuangan di bank Syariah, tentu saja lengkap
dengan fatwa setiap akad dan bagaimana seharusnya akad tersebut
diimplementasikan dalam berbagai macam produk.
Adakah yang
berani mengatakan bahwa fatwa mereka salah? Semoga jika ada, ilmu fiqih dan
pemahaman ekonomi islamnya jauh melampaui para ulama Dewan Syariah Nasional,
ya. bagaimana dengan kita? Apakah wajar bingung dengan berbagai pendapat ulama
yang berbeda?
Ah, tentu saja. Untuk
menyederhanakannya, mari kita berpikir logis. Tidak ada seorangpun yang hidup di
zaman ini, mampu menghindari transaksi keuangan melalui lembaga bernama bank. Entah
itu hanya sebagai sarana transfer, menerima kiriman uang, atau untuk menabung
bahkan investasi. Bahkan pengemis di pasar pun bisa jadi dituntut memiliki
rekening bank. Untuk membayar cicilan motor, mungkin.
Kebutuhan akan Lembaga
keuangan sudah sangat mendesak dan tidak tergantikan. Sementara itu, sebeum tahun
1992, semua bank yang berdiri dan beroperasi di Indonesia adalah Lembaga keuangan
konvensional. Kita tahu, semua Lembaga keuangan konvensional menerapkan sistem
yang sama dalam transaksinya, yaitu berbasis bunga.
Kemudian mulai
1992 hingga sekarang, bermunculan banyak sekali bank Syariah yang menawarkan
skema berbeda: bagi hasil, margin, ijarah, dan sebagainya. Secara prinsip,
skema di bank Syariah berbeda dengan skema keuangan bank konvensional.
Lalu mengapa ada
yang menganggap bank Syariah juga menerapkan sistem riba?
Barangkali kita
harus memperjelas dan mempertegas pengertian riba, sebelum membahas persamaan
atau perbedaannya dengan sistem keuangan yang diterapkan oleh bank Syariah. Secara
bahas benar bahwa kata “riba” berarti tambahan. Namun apakah setiap tambahan
yang terjadi dalam transaksi utang atau jual beli berarti riba dalam istilah
yang diharamkan oleh agama?
Para ulama
shalih telah mengidentifikasi adanya dua sumber utama terjadinya transaksi riba
yang diharamkan dalam keuangan, pertama melalui pinjaman, kedua melalui jual
beli.
Kitab I’anah ath
Thalibin Juz 3 halaman 53 merumuskan, wa amma al qardh bi syarthi jarri
naf’in li muqridh fa faasid li khabari kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa ar
riba.
واما القرض بشرط جر
نفع لمقرض ففاسد لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا
Ketika ada
pinjaman bersyarat aliran manfaat bagi pemberi pinjaman, maka hukumnya fasid
atau batil, sebagaimana Hadits bahwa setiap hutang piutang yang mengalirkan
manfaat adalah Riba.
Perhatikan rumus
Riba Pinjaman, yakni ketika ada (1) pinjaman, (2) bersyarat, (3) aliran
manfaat, (4) bagi pemberi pinjaman. Dengan demikian, ketika ada pinjaman
memberikan aliran manfaat bagi pemberi pinjaman yang tidak dipersyaratkan, maka
ini bukan skema Riba. Begitu juga ketika ada pinjaman bersyarat aliran manfaat
namun tidak dialirkan kepada pemberi pinjaman dan/atau tidak dialirkan kepada semua
pihak yang terlibat dalam transaksi, maka ini pun bukan kategori Riba.
Jika kita
perhatikan, rumus ini akan cukup membuat kita paham bahwa bunga pada bank
konvensional memenuhi syarat untuk disebut sebagai riba. Ketika nasabah
menabung, sejak awal dijanjikan akan mendapat sekian % dari nominal tabungan
selama jangka waktu tertentu. Demikian pula ketika nsabah mengajukan kredit,
sejak awal perjanjian telah disepakati adanya sekian % “bunga” yang harus
dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank.
Sedangkan di
bank Syariah? Prosentase yang mungkin muncul dalam kesepakatan bagi hasil
dengan nasabah penabung, atau nasabah penerima pembiayaan, adalah prosentase
yang didasarkan pada keuntungan yang diperoleh dalam usaha selama jangka waktu
tertentu. Bukan didasarkan atas nominal tabungan atau nominal utang. Semoga sampai
di sini, kita sepakat.
Kedua adalah riba
Jual Beli. Sesuai dengan istilahnya, Riba Jual Beli adalah Riba yang terjadi
pada skema pertukaran, yakni pertukaran Harta Ribawi. Pada masa klasik, harta
Ribawi adalah emas, perak, garam, kurma, gandum burr, dan gandum sya’ir.
Sebagian ulama berpendapat bahwa harta Ribawi ini juga termasuk qiyas dari 6
harta Ribawi tersebut, misalnya alat tukar resmi berupa Rupiah.
Berdasarkan
penelusuran penulis pada Kitab Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid dan
Kitab I’anah ath Thalibin, minimal ada 7 syarat agar pertukaran harta Ribawi
tersebut tidak terkena Riba, yakni (1) haa`a wa haa`a (saling menerima dan
menyerahkan), (2) yadan bi yadin (tunai atau hand by hand), (3) sawaa`an bi
sawaa`in (setara), (4) mitslan bi mitslin (sejenis), (5) aynan bi aynin
(sebarang, sama-sama terjadi penyerahan barang), (6) kaylan bi kaylin
(setakaran), (7) waznan bi waznin (sepola, setimbangan). Itu syarat minimal
pertukaran harta Ribawi.
Uniknya, keenam
harta Ribawi tersebut bisa berubah menjadi sil’ah atau komoditas ketika
fakta membuktikan bahwa alat tukar saat ini bukan lagi emas dan perak, namun
Rupiah. Ushul fiqh atas kondisi ini yang juga menyebabkan bahwa emas tidak lagi
diberlakukan sebagai harta Ribawi, namun sebagai komoditas, sehingga bisa
diperjualbelikan secara tidak tunai. (amanasharia.com)
Jadi? Ayolah,
sudah saatnya kita berpikir kritis terhadap setiap fatwa ulama. Jika benar ada
riba di bank Syariah, apakah para ulama Dewan Syariah dari MUI itu akan diam
saja? Tentu saja tidak. Lagi pula, para ustadz yang mengharamkan Bank Syariah karena
menilai adanya riba dalam prakteknya, kenapa tidak memberikan solusi yang lebih
baik, transaksi apa yang bisa digunakan oleh umat islam untuk menghindari riba?
Tentu ini akan menjadi kajian yang menarik, bukan?
Aku share ke anakku mba...dia juga keterima di Ekis Unair
ReplyDelete