Konten [Tampil]
Kehalalan Bank Syariah 4
Kali ini, saya tidak ingin mengungkit soal gelapnya belantara dan lentera lagi. Saya ingin bercerita tentang Izin dan Pengawasan Bank Syariah, sebagai lanjutan dari pembahasan Kehalalan Bank Syariah 3, sehingga kita belajar tentang bagaimana bank syariah beroperasi. Suatu saat, semoga sahabat hijrah finansial bisa mengambil kesimpulan sendiri, seberapa halalkah bank syariah?
Seperti halnya bank umum konvensional, bank umum syariah di Indonesia berdiri di bawah izin operasional bank sentral dan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Produk yang diterbitkan atau diizinkan dalam operasional, harus melalui izin/sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Izin dan pengawasan dari OJK bermanfaat dalam rangka manajemen risiko. Teman-teman hijrah finansial pernah lihat atau baca berita tentang kasus penipuan berkedok lembaga keuangan gadungan? Simpan pinjam, arisan, investasi, dan sebagainya. Tidak sedikit yang terungkap telah menipu banyak orang dan berhasil melarikan sejumlah aset nasabah. Itu adalah bukti pentingnya pengawasan dan regulasi lembaga keuangan. Tanpa regulasi dan pengawasan, mereka bisa menjadi malapetaka bagi masyarakat luas. Maka tidak seharusnya ada sikap antipati terhadap regulasi dan pengawasan Bank Sentral dan OJK.
Sampai disini perlu dicatat: berdiri atas izin, beroperasi di bawah pengawasan. Bedanya apa bank syariah dengan konvensional? Dalam hal izin, keduanya sama. Namun dalam hal pengawasan, bank syariah mendapat pengawasan ekstra dari DPS, yaitu Dewan Pengawas Syariah, di samping pengawasan OJK yang berlaku bagi semua lembaga keuangan baik nank maupun non bank.
Siapa mereka? DPS adalah orang-orang yang memiliki kapasitas ilmu fiqih muamalah sekaligus ekonomi, umumnya adalah ulama atau tokoh umat islam. Tugas DPS adalah mengawasi operasional bank syariah agar sesuai dengan prinsip syariah. Perbedaan selanjutnya antara bank syariah dengan konvensional adalah pada produk. Bank umum konvensional diizinkan menjual atau menawarkan produk selama sesuai dengan ketetapan BI dan OJK. Sedangkan bagi bank umum syariah, tidak cukup demikian. Produk yang ditawarkan oleh bank syariah selain harus mendapat izin dari BI dan OJK, juga harus memenuhi kriteria yang tertuang dalam fatwa DSN MUI.
Contoh sederhana, untuk produk KPR, baik bank umum konvensional maupun syariah, sama-sama memiliki. Apa bedanya? Izinkan saya jelaskan dengan sederhana. Produk KPR di bank konvensional ditawarkan melalui skema kredit, dengan basis bunga yang harus dibayar selama jangka waktu tertentu. Menurut OJK dan BI, hal ini diizinkan. Maka produk tersebut bisa beredar di masyarakat. Namun bagi bank syariah, dilarang menggunakan bunga sebagai bagian dari sistem transaksi karena melanggar prinsip syariat. Maka kemudian bank umum syariah meluncurkan KPR syariah, dengan penyesuaian produk mulai dari akad, skema pembayaran, hingga dasar fatwa DSN MUI nomor berapa saja yang terlibat dalam satu produk ini, semua harus jelas.
Lalu apa koneskuensi adanya DPS? Secara teori, merekalah yang bertanggung jawab terhadap shari’a compliance lembaga keuangan syariah, termasuk jika ada pelanggaran. Sehingga jika terjadi pelanggaran prinsip syariah, kita bisa minta pertanggungjawaban mereka sebagai pengawas. Jika komplain atas kepatuhan syariah “tidak selesai” di meja mereka, masih ada Badan Arbitrase Syariah, yang bertugas menyelesaikan sengketa kasus keuangan Islam.
Sampai sini, semoga dapat dipahami. Jika ada pertanyaan, tanggapan, ketidaksetujuan, atau perbaikan, dipersilakan untuk meyampaikan di kolom komentar.
Pada pembahasan selanjutnya, insya Allah kita akan bahas manajemen dana yang ada di bank umum syariah, ya. Terima kasih dan sampai jumpa.
Post a Comment
Post a Comment