Ya, tidak
semua orang kaya mampu menikmati kekayaan, kan? Buktinya masih ada artis,
konglomerat, fasilitas hidup lengkap, akhirnya terjerumus juga pakai narkoba.
Ada juga oknum pejabat, gaji tetap, tunjangan terus meningkat, tapi bingung
bagaimana menghabiskan hartanya.
Di sekitar
kita mungkin pernah juga mendapati, orang yang nominal penghasilannya tidak
seberapa, tapi hidup dengan aman sentosa, seolah tak pernah punya masalah saja.
Padahal setiap manusia hidup ditakdirkan dengan ujian masing-masing, sesuai
kadar kemampuannya. Lalu bagaimana seharusnya seorang muslim menikmati
kekayaan?
Hakikat Harta: Titipan Semata
Ungkapan
“Nggak papa nggak kaya, yang penting bahagia” agaknya perlu dipikir ulang di
zaman yang serba membutuhkan uang seperti sekarang. Kita tidak bisa
mengandalkan hidup dari belas kasih orang lain. Apalagi menunggu dengan pasrah
rezeki datang sendiri.
Menurut banyak
petuah ustadz dan ulama, rezeki setiap insan memang sudah dijatahNya, tidak
akan kurang, bahkan seringkali lebih. Saying, manusia punya sifat alami untuk
hanya bisa bersyukur sedikit sekali dibanding nikmatNya yang melimpah.
Padahal kalau
mau bersyukur, nikmatNya akan bertambah. Mungkin tidak selalu dalam bentuk
jumlah, tapi berkah. Karena sejatinya manusia hanya tempat titipan. Baik titipan
berupa kesempatan, pertemuan dengan orang-orang, termasuk kekayaan.
Ya, hakikat
harta adalah titipan. Manusia tidak pernah benar-benar memiliki berapapun harta
yang dikuasainya. Jika Allah berkehendak, bisa dengan sangat mudah mengambilnya
melalui berbagai cara. Begitu juga jika Allah ingin memberi, tidak seorang pun
berhak menghalangi.
Akan tetapi
apakah titipan itu datang dan pergi tanpa sebab? Tentu tidak. Ada rangkaian
logika yang saling terhubung bisa menjadi penyebab murah atau mahalnya rezeki
bagi seseorang. Allah tidak akan mengambil titipanNya tanpa maksud, pun tidak
akan memberi tanpa tujuan, yang masing-masing alasan dan tujuan itu, bisa jadi
merupakan ujian.
Cara Menikmati Harta: Tergantung Sumbernya
Secara
teori, setiap muslim terikat dengan syariat, yaitu hukum atau tatalaksana yang
harus dilekatkan dengan setiap sikap. Terkait masalah harta, kita akan dimintai
pertanggungjawaban mengenai sumbernya, sebelum ditanya akan digunakan untuk apa
harta tersebut, sekecil apapun jumlahnya.
Pertanggungjawaban
mengenai sumber dan aliran harta ibarat sisi koin, melekat dengan hukum halal
dan haram. Seorang muslim dituntut untuk hanya menerima harta, baik itu
pendapatan atau pemberian dari yang halal saja. Untuk segala sumber yang jelas
haram, dianjurkan menghindarinya.
Misal,
pendapatan dari gaji, ini perlu diteliti apakah pekerjaan yang dilakukan
sebelumnya benar-benar bergerak di sektor halal? Jika mengetahui pekerjaannya
haram, seperti menjual minuman memabukkan, terlibat transaksi riba, pembunuhan,
zina, maka jelas bahwa gajinya pun haram.
Dalam
keadaan demikian sebaiknya segera berpikir ulang untuk mencari pekerjaan lain
yang halal, meskipun nominal gajinya lebih kecil. Akan lebih baik bagi seorang
muslim menikmati yang sedikit namun halal, dari pada yang banyak dan jelas
haram.
Lebih enak
lagi, tentu menikmati kekayaan yang banyak, sekaligus halal. Ah, semoga setiap
kita diberi keberkahan untuk bisa menikmati yang demikian. Tentu tidak mudah
dan tiba-tiba, karena setiap harta datang kepada kita sebagai titipan, bersama
dengan sebuat tujuan.
1. Mengenali sumber harta halal
Masing-masing
dari kita tentu memiliki kapasitas rezeki dan kemampuan yang berbeda untuk
mendapatkannya. Ada yang harus bekerja keras, ada juga yang ditakdirkan
memiliki banyak priviledge sehingga
berkesematan menebar manfaat lebih luas lagi.
Apapun
sumbernya, pastikan untuk hanya menerima segala sesuatu yang halal. Banyak atau
sedikitnya yang harus jadi prioritas bukanlah pada jumlah, tapi pada berkah.
Karena sedikit yang berkah manfaatnya bisa jauh lebih luas dibanding banyak
namun mengundang musibah.
2. Menyimpan atau menyalurkan sesuai
tujuan
Jika sudah
sepakat dengan memilah dan memilih sumber hanya yang halal saja, selanjutnya
kita harus lebih teliti dalam menyalurkan atau memanfaatkannya. Jangan sampai
harta yang sudah digenggam lari pada hal-hal pemicu murkanya Allah.
Na’udzubillah..
Prioritas Penyaluran Harta
Ketika harta
sudah di genggaman, bagaimana cara menikmati harta dan mengaturnya agar berkah
didapat? Seperti halnya maqashid syariah dalam
Islam, ada prioritas yang berjenjang untuk mendapat bagian dari harta yang
dititipkanNya pada kita. Urutan prioritas tersebut adalah:
1. Diri sendiri, agama dan keluarga
Prioritas utama
dalam maqashid syariah adalah jiwa,
agama, dan nasab. Begitu juga dalam pembagian harta. Kita dianjurkan untuk
mementingkan diri sendiri dan agama sebelum orang lain. Perhatikan kebutuhan
keluarga sebelum tetangga, saudara jauh, atau kerabat.
Dalam mengukur
pembagian tersebut, kita dituntut untuk bisa membedakan antara kebutuhan dan
keinginan. Pembagian yang perlu diutamakan adalah kebutuhan, bukan keinginan. Karena
menuruti keinginan mungkin tidak ada
habisnya.
2. Orang yang membutuhkan
Menikmati harta
untuk kepentingan pribadi dan keluarga mungkin benar dan nikmat. Tentu ada rasa
bangga ketika seseorang mampu membahagiakan diri dan keluarganya dengan apa
yang dimiliki. Akan tetapi sebagai makhluk sosial, akan ada rasa puas dan
bahagia yang bertambah setelah mampu berbagi dengan orang lain.
Sesekali, atau
usahakan sesering mungkin, untuk bisa berbagi kebaikan sekecil apapun dengan
selain diri dan keluarga. Entah itu tetangga, kerabat, rekan kerja, atau orang
yang sama sekali tidak kenal. Berbagi kebaikan bisa berwujud uang, makanan,
alat kebersihan, atau apapun yang kita miliki dan pantas dibagi. Akan lebih
baik lagi jika sesuatu itu dibutuhkan oleh penerima.
3. Kepentingan sosial
Cara menikmati
kekayaan dalam bentuk lain adalah mengalokasikan harta khusus untuk kepentingan
sosial. Missal untuk membantu korban bencana, pembangunan fasilitas publik,
atau apapun yang bisa dinikmati manfaatnya oleh banyak orang.
Sesungguhnya
bagi seorang muslim, ada banyak cara menikmati kekayaan sehingga manfaatnya
tidak terbatas pada diri sendiri atau keluarga. Semakin luas manfaat harta yang
kita miliki untuk dibagi, insya Allah akan mengundang lebih banyak berkah bagi
pribadi dan keluarga kita. Mungkin manfaatnya tidak langsung terasa, tapi
yakinlah setiap kebaikan akan kembali berwujud kebaikan.
Post a Comment
Post a Comment