Mungkin masih ada orang-orang yang heran, mengapa ketika mengajukan pembiayaan murabahah di bank atau lembaga keuangan syariah dikasihnya uang, bukan barang? Padahal kan akad kita dengan bank adalah jual beli, bukan pinjam uang?
Jika rasa heran tersebut diteruskan dengan mencari tahu sebabnya dan memahami konteks transaksi pembiayaan di bank syariah, maka baik. Sebaliknya, jika kemudian rasa heran tersebut terhenti pada penasaran dan malah menyebar dugaan, tentu bukan begitu harusnya sikap seorang mukmin.
Akad Wakalah Dalam Murabahah Diatur Oleh Fatwa DSN MUI
Dalam Fatwa DSN MUI Nomor 4 Tahun 2000 disebutkan ketentuan umum pembiayaan murabahah sebagai berikut:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Dari ketentuan di atas, poin 9 menyebutkan bahwa bank bisa dan boleh mewakilkan pembelian barang kepada nasabah dengan sejumlah catatan. Yaitu barang yang diwakilkan beli oleh nasabah tersebut adalah atas nama bank kemudian dijual kepada nasabah,
Jadi secara prinsip, bank tidak memberikan uang tersebut untuk dipinjam. Dalam akad wakalah sebenarnya nasabah sebagai wakil dari bank untuk membeli barang bisa mendapatkan fee dari bank atas perwakilan tersebut.
Poin oenting yang harus dipahami oleh praktisi maupun nasabah adalah dalam murabahah harga harus transparan. Artinya kedua pihak harus mengetahui berapa harga pokok dan margin yang diambil dalam jual beli tersebut, sesuai poin 6.
Akad murabahah bisa diaplikasikan dalam jual beli berbagai macam barang. Mulai dari alat elektronik, transportasi, hingga properti. Bahkan juga bisa digunakan sebagai pembiayaan modal, misalnya untuk pembelian barang inventaris usaha.
Akad wakalah dalam murabahah digunakan untuk mempermudah kedua pihak untuk mendapatkan barang sesuai spesifikasi yang dibutuhkan. Bukankah ketika nasabah yang mewakili bank untuk membeli, akan lebih bebas untuk memilih barang yang diinginkan?
Jangan sampai kemudahan dalam transaksi ini diartikan sebagai hilah riba sehingga umat Islam pun menghindarinya. Tentu akan lebih salah ketika menghindari wakalah dalam jual beli kemudian memilih meminjam uang di lembaga keuangan konvensional.
Inilah sebabnya, setiap muslim perlu memahami fiqih muamalah, segala hukum yang terkait dengan interaksi sosial termasuk urusan bisnis, sebelum mempraktikannya. Meskipun hukum asalnya mempelajari fiqih muamalah adalah fardhu kifayah atau bisa diwakilkan, faktanya dalam kehidupan sehari-hari tetap saja setiap orang perlu paham prinsip dasar transaksi halal dan haram.
Jangan sampai untuk menghindari yang haram, justru melepaskan yang halal karena ketidaktahuan. Jadi, wakalah dalam murabahah adalah boleh dengan sejumlah ketentuan yang disebutkan dalam fatwa murabahah DSN MUI Nomor 4 Tahun 2000.
Jadi kangen kuliah lagi, eh?😂🙈 Terima kasih mbak untuk penjelasannya😇🤗
ReplyDelete