Konten [Tampil]
Suatu hari ada seorang kawan yang bertanya tentang status harta hibah dalam waris, bagaimana statusnya menurut Islam? Secara pribadi saya bukan sarjana hukum keluarga, jadi belum pernah belajar secara mendalam emngenai perkara hibah dalam waris ini. Akan tetapi, akal menuntut kita untuk bisa belajar dari banyak sumber. Ada banyak cara untuk kita menganalisa masalah dan mendapat sumber yang valid.
Untuk memutuskan hukum suatu perkara, tentu kita butuh hukum dasar mengenai hal tersebut. Pertama mengenai hibah, yang berarti hadiah atau pemberian cuma-cuma dari seorang yang memiliki harta kepada orang lain. Kedua warisan, adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris atau orang yang memiliki harta kemudian meninggal dunia.
Pada dasarnya, tidak ada batasan siapa yang boleh atau tidak boleh menerima hibah. Bahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga menikmati hadiah atau hibah dari kerabat dan para sahabat. Beliau tidak memakan harta zakat atau sedekah, tapi bisa menikmati hadiah.
Sementara wasiat, adalah pesan khusus yang dicatat atau disampaikan oleh seorang pewaris sebelummeninggal, untuk memberikan hartanya kepada pihak tertentu yang dikehendakinya. Untuk itu, ada aturan yang jelas mengenai pembagian harta warisan menurut Islam, khususnya terkait maslaah hibah dan wasiat ini.
Dalil Tentang Hibah
Perkara hibah lazim dipraktikkan di masyarakat, banyak orang memilih untuk membagi hartanya kepada anak-anak sebelum ia meninggal. Pembagian semacam ini disebut dengan hibah, bukan waris. Karena pembagian waris hanya terjadi ketika pewaris meninggal dunia. Keadaan ini sesuai dengan salah satu hadits Rasulullah:
“Dari Nu`man Ibn Basyir Radhiyallahu `Anhu: bahwa ayahnya menghadap Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallambersama dia, lalu berkata:”Saya berikan seorang budak kepada anakku ini”. Maka Rasulullah bersabda: “Apakah semua anakmu kau beri seperti ini?” ia menjawab: “tidak”. Rasulullah bersabda: “Ambillah ia kembali”
Para ulama menafsirkan hadits tersebut sebagai bentuk perintah untuk berbuat adil kepada anak-anak kandungnya. Jika salah satu diberi hibah, maka yang lainnya pantas mendapat harta serupa. Jika tidak, maka sebaiknya semua anak tidak menerima harta tersebut.
Wahbah Az Zuhaily (2010) menyebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 211, Hibah orang tua kepada anaknya dapat di perhitungkan sebagai warisan. Dalam pemberian hibah tersebut dilakukan secara musyawarah dan atas persetujuan ahli waris yang ada, agar tidak terjadi perpecahan dalam kel
uarga. Memang prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada anak sesuai dengan petunjuk Rasulullah Saw. hendaknya bagian mereka disamakan. Kalaupun dibedakan, maka harus atas musyawaroh bersama. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pemberian hibah orang tua dapat diperhitungkan sebagai warisan. Boleh jadi, pola pembagian demikian, oleh sementara pendapat dianggap sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi soal warisan.
Jika harta dibagi kepada ahli waris setelah pewaris meninggal dunia, maka jelas aturan dasar yang harus dipakai dalam membagi adalah hukum waris yang sesuai dengan syariat. Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda:
“Bersikaplah adil antara anak-anak kalian dalam hal hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.”(HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro no.12.003)
Dalil Tentang Wasiat
Dalam Qur'an Surah Al Baqarah ayat 180 Allah berfirman yang artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Sementara dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda yang artinya:
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku (kepada putrid tunggalku, pent.)”. Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau setengahnya?” Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau sepertiganya?” Beliau bersabda: “Ia sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan-tangan mereka.
Dua dalil di atas menegaskan bahwa wasiat baik melalui tulisan atau lisan dengan adanya saksi diperbolehkan. Terutama untuk keluarga dan kerabat, sengan catatan tidak boleh melebihi 1/3 harta waris. Terlepas dari apakah penerima wasiat masih berhak mendapat bagian waris atau tidak, ini harus dikaji secara lebih mendalam.
Poin pentingnya adalah bahwa hibah kepada salah satu ahli waris tidak diperbolehkan kecuali semua anak atau ahli waris mendapat hadiah serupa. Kedua, untuk wasiat boleh ditujukan kepada siapapun secara legal dengan batasan maksimal 1/3 dari harta waris.
Apek legal tersebut tentu dapat dikaji lebih jauh melalui hukum perdata dan hukum lain yang berlaku di Indonesia. Seperti adanya akta hibah, yang membuat pemberian tersebut diakui secara hukum dan tidak menciderai ahli waris lain. Dalam arti, tidak ada hak ahli waris lain yang didzalimi dengan adanya ketetapan hibah tersebut.
Demikian juga perkara wasiat dalam harta waris, larangan untuk melebihi 1/3 jumlah harta tersebut adalah agar hak ahli waris lainnya tetap dapat dipenuhi dengan baik. Setiap muslim hendaknya menjunjung tinggi syariat sehingga sebelum dan setelah pembagian waris hubungan sosial dan kekeluargaan semakin baik.
Alangkah buruknya di mata sesama manusia dan di hadapan Allah kelak jika ada muslim yang justru berselisih dengan sesama ahli waris sebab pembagian harta waris dengan alasan adanya ketidakadilan perkara hibah dan wsiat. Semoga kita selalu dilindungi dan dihindarkan dari keserakahan untuk menguasai harta yang sejatinya kita tidak ikut memperjuangakn.
Post a Comment
Post a Comment